Lencana Facebook

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS


analisa sperma

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Persiapan dan syarat-syarat yang perlu diperhatikan :
Penderita diberi petunjuk sejelas mungkin, kalau secara tertulis tentang :
1.    Masa Abstinensia seksualitas
Yaitu jarak antara waktu istrahat tidak melakukan aktifitas seks. Biasanya abstinonsia yang diperlukan 3 – 5 hari
2.    Cara pengeluaran sperma
a.    Masturbasi / onani / rancap
Yaitu tindakan menggosok kemaluan laki-laki (penis) berulang-ulang, sampai terjadi ketegangan, dan klimaksnya akan keluar sperma, (dari segi praktis cara ini paling baik)
b.    Koitus Interruptus / senggama terputus
Yaitu tindakan senggama yang tidak diteruskan sampai akhir, tetapi diputus sehingga sperma tidak masuk ke vagina. Koitus interruptus merupakan cara yang lebih representatif dari pada masturbasi.
c.    Koitus kondomatus / senggama dengan kondom
Yaitu pengumpulan semen didalam kondom umumnya tidak dianjurkan oleh karena biasanya kondom mengandung spermicid, akan tetapi bila terpaksa menggunakan kondom, maka peelu dibersihkan dulu dengan air hangat tanpa memakai sabun supaya kondom tersebut bebas dari spermicid, kemudian dikeringkan.
d.    Vibrator, dll
3.    Penampung dan membawanya ke laboratorium
Jika mungkin/memungkinkan masturbasi ini dilakukan dilaboratorium dan langsung dikeluarkan kedalam tempat penampung. Sperma ditampung dengan hati-hati dan tidak ada yang tercecer kedalam botol kaca yang bersih dan kering serta bermulut lebar. Semen segera diperiksa setelah dikeluarkan atau dalam batas 15 – 120 menit sesudah ejakulat. Hasil keputusan simpousium spermatologi tahun 1978,menyatakan bahwa sperma harus  diserahkan paling lambat ½ sampai 1 jam setelah ejakulasi. Waktu penyerahan contoh semen dilaboratorium harus disertai keterangan mengenai lama abstinensia, cara pengeluaran dan waktu pengeluaran.
Pada pemeriksaan semen sebelum memutuskan adanya gangguan fertilitas, pemeriksaan diulangi sekurang-kurangnya dua kali dengan interval waktu antara 3 – 5 minggu. Sedangkan bila hasilnya normal maka tidak perlu diulangi.
PEMERIKSAAN SPERMA
A.   Pemeriksaan Makroskopis
1.    Koagulasi dan Likwefeksi
Sperma normal yang baru saja diejakulasi selalu menunjukkan adanya gumpalan-gumpalan atau koagulum diantara cairan lender putih yang cair. Sperma ini kemudian mengalami likwefeksi sempurna dalam waktu 15 – 20 menit.
Dicatat ada tidaknya koagulum, berapa menit waktu yang dibutuhkan sampai terjadi likwefeksi sempurna.
Apabila tidak terdapat koagulum menunjukkan penyumbatan pada kelenjar vesica seminalis ataupun kelainan pada vesica seminalis. Apabila likwefeksi memanjang atau tidak sempurna setelah 20 menit, keadaan seperti ini menunjukkan adanya gangguan fungsi prostat dalam memproduksi seminin.
2.    Warna
Warna sperma diamati dengan latar belakang yang putih dan dengan penerangan yang cukup
Normal berwarna putih kanji, putih keabu-abuan atau kekuning-kuningan.
Abnormal : apabila seperti susu, kemerahan atau jernih
3.    Bau
Normal     :  Bau sperma khas seperti bunga akasia
Abnormal : Berbau tidak khas misalnya : bau obat-obatan, amis dsb
Bau sperma yang khas ini disebabkan oleh adanya spermine yang dihasilkan oleh prostat
4.    Ph Sperma
Diukur setelah terjadi likwefeksi sempurna, yang ditentukan dengan memakai kertas Ph atau dengan Ph meter.
Normal Ph sperma menunjukkan sedikit alkalis yaitu 7.2 - 7.8 cairan prostat mempunyai Ph yang rendah yaitu kurang dari 7.0
5.    Volume
Diukur setelah terjadi likwefeksi sempurna
Normal :  2 – 6 ml, kurang dari 1 ml disebut hypospermia
Lebih dari 6 ml disebut hyperspermia. Apabila dijumpai volume kurang dari 1 ml sering diragukan tidak sempurnanya ejakulasi atau tidak tertampung seluruhnya. Apabila volume besar rendah dan jernih biasanya menunjukkan jumlah spermatozoa yang rendah atau azospermis
6.    Viskositas
Ditentukan setelah terjadi likwefeksi sempurna
Caranya :
-     Dengan batang gelas (makin panjag menunjukkan viskositas semen yang tinggi)
-     Dengan memakai pipet ELLIASON
Waktu yang dibutuhkan terjadinya tetesan semen dari ujung pipet dicatat dengan memakai stopwatch.
Normal berkisar antara 1 – 2 detik untuk tiap 1 tetesan
Viscositas juga tergantung dari enzyme yang berasal dari prostat
B.   Pemeriksaan Mikroskopis
1.    Kepadatan Spermatozoa
Kepadatan spermatozoa ini dapat dipkai untuk menentukan factor pengenceran pada waktu menghitung jumlah spermatozoa
2.    Motilitas Spermatozoa
Pemeriksaan motilitas spermatozoa hendaknya dilakukan pada suhu kamar sekitar 370C, dapat merupakan kelanjutan dari pemeriksaan kepadatan spermatozoa.
Disini dihitung sekitar 200 spermatozoa dalam beberapa lapang pandang, kemudian dicatat :
a.    Prosentase spermatozoa yang bergerak baik, yaitu spermatozoa yang nyata memperlihatkan gerakan maju
b.    Prosentase spermatozoa yang bergerak kurang baik atau ditempat yaitu spermatozoa yang hanya ada gerakan ekor.
c.    Prosentase spermatozoa yang tidak bergerak sama sekali atau non motil
Nilai normal apabila spermatozoa bergerak baik lebih atau sama dengan 50%
3.    Motilitas sinambung
Motilitas sinambung atau “successive motility” adalah pengamatan motilitas spermatozoa dalam interval waktu tertentu untuk mengetahui apakah ada penurunan yang drastis dari prosentase spermatozoa motil dalam waktu tertentu setelah ejakulasi 
4.    Pengecatan supravital
Ada kemungkinan bahwa spermatozoa tidak bergerak, tetapi tidak mati. Spermatozoa ini mungkin pula dapat bergerak didalam alat kelamin wanita, maka dari itu penting kiranya untuk mendefensiasi spermatozoa yang benar-benar mati dengan spermatozoa yang tidak bergerak.
5.    Perhitungan jumlah Spermatozoa
Prinsip       :  Cairan  sperma diencerkan didalam pipet leukosit dengan larutan pengencer sperrmicide, kemudian dimasukkan kedalam kamar hitung dan jumlah spermatozoa dihitung dalam volume tertentu
Prosedur   :  1. Isaplah cairan sperma yang telah homogen dengan pipet leukosit sampai tanda 0,5
2.  Kemudian isaplah larutan pengencer (spermicide) sampai tanda II tepat
3.  Campurkan baik-baik, buanglah 3 – 4 tetes cairan yang diujung pipet leukosit tersebut
4.  Teteskan setetes campuran sperma keatas kamar hitung yang telah diisapkan
5.  Mulailah menghitung spermatozoa seperti melakukan penghitungan sel-sel darah dengan bantuan mikroskop
Dalam keadaan normal jumlah spermatozoa bervariasi antara 60 - 150 juta/ml. Untuk perhitungan jumlah spermatozoa yang lebih teliti dapat digunakan “Electric Counter”. Untuk menghitung spermatozoa yang sedikit jumlahnya, yang pada pemeriksaan sepintas hampir tidak nampak adanya spermatozoa dianjurkan untuk melakukan centrifuge sperma terlebih dahulu dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit. Endapan yang tampak diteliti untuk mencari adanya spermatozoa, paling sedikit dilakukan 2 – 3 kali pemeriksaan dengan cara tsb diatas sebelum menyimpulakan diagnose Azoospermia.
Jika jumlah sperma :
l Kurang dari 20 juta/ml disebut Oligospermia
l 20 – 40 juta/ml disebut Subfertil
l 40 - 60 juta/ml disebut Relatif fertil
l Lebih dari 60 juta/ml disebut Sangat fertile
6.    Morfologi spermatozoa
Spermatozoa normal terdiri dari :
a.    Kepala yang berbentuk oval lebih besar dari bagian tubuh yang lain
b.    Leher yang kecil, yang didasanya dihubungkan pada filament axial yang berhubungan dengan ekor
c.    Ekor yang panjng dan ramping, yang bila melakukan gerakan kebelakang bawah dapat menghasilkan gerakan aktif
Bila terdapat kelainan bentuk dan ukuran serta pengecatan ini dianggap abnormal, misalnya : kepala berbentuk lancip, bundar, kepala raksasa, kepala double, atau kepala ovale tetapi ekornya terputus-putus dijumpai juga ekornya berlekuk-lekuk membentuk kumparan, ini tidak mempunyai arti penting. Bentuk abnormal dipelajari paling baik dengan preparat dan pengecatan
Ø      Beberapa pengertian istilah yang berhubungan dengan analisa sperma :
Hyperspermia     :  keadaan dimana volume sperma lebih dari 6 ml/ejakulasi’
Hyposspermia    :  keadaan dimana jumlah volume sperma kurang dari 1 ml/ejakulasi
Oligospermia      :  keadaan dimana jumlah spermatozoa kurang dari 20 juta/ml
Azospermia         :  Keadaan dimana tidak terdapat spermatozoa dalam semen
Neurospermia     :  keadaan dimana tidak ada spermatozoa yang hidup dalam sperma

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Diare

Diare seringkali dianggap penyakit yang biasa dan sering dianggap sepele penanganannya. Pada kenyataanya diare dapat menyebabkan gangguan sistem ataupun komplikasi yang sangat membahayakan bagi penderita. Beberapa di antaranya adalah gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, shock hipovolemia, gangguan berbagai organ tubuh, dan bila tidak tertangani dengan baik dapat menyebabkan kematian. Dengan demikian menjadi penting bagi perawat untuk mengetahui lebih lanjut tentang diare, dampak negative yang ditibulkan, serta upaya penanganan dan pencegahan komplikasinya.
Pada kasus pemenuhan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, sebenarnya masih ada diagnosa keperawatan yang mungkin muncul. Tetapi pada kasus ini difokuskan pada kasus diare, sehingga tindakan keperawatan lebih banyak diarahkan pada rehidrasi pasien, dan ternyata  banyak sekali yang harus dipertimbangkan dan diperhatikan.
1.2   Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai pada penulisan makalah ini adalah :
1.      Meningkatkan pemahaman tentang diare
2.      Mengidentifikasi masalah keperawatan yang berhubungan dengan adanya gangguan cairan dan elektrolit pada klien diare
3.      Mengidentifikasi tindakan keperawatan untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit pada klien diare.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Fisiologi Usus Besar
Kolon atau usus besar terdiri dari kolon asenden, transversum, desenden dan sigmoid yang bermuara di rektum dan anus. Arteri yang memperdarahi usus besar meliputi eteri mesenterika superior (untuk kolon bagian kanan), arteri mesenterika inferior (untuk kolon bagian kiri), serta arteri hemoroidales. Sistem saraf yang mempengaruhi kerja usus besar adalah sisten saraf otonom kecuali spingter eksterna oleh sistem saraf volunter.
Fungsi usus besar yang paling penting adalah absorpsi air dan elektrolit yang sebagian besar berlangsung di usus besar bagian kanan, fungsi sigmoid sebagai reservoir untuk dehidrasi massa feses sampai defekasi berlangsung. Sekresi kolon merupakan mukus dan HCO3, mukus bekerja sebagai pelumas dan melindungi mukosa kolon sedangkan HCO3 berperan dalam kestabilan jumlah bakteri dalam kolon dan menjaga tingkat keasaman dalam kolon,  pada peradangan usus, peningkatan sekresi mukus yang banyak sekali mungkin bertanggung jawab akan kehilang protein dalam feses, juga menyebabkan kehilangan HCO3 yang bertanggung jawab terhadap sebagian gangguan keseimbangan asam basa.
Bakteri dalam kolon melakukan banyak fungsi yaitu mensintesis vitamin K dan beberapa vitamin B, serta melakukan pembusukan sisa makanan yang tidak bisa diabsorpsi usus halus. Selama proses pembusukan dihasilkan berbagai peptida, indol, skatol, fenol dan asam lemak serta beberapa gas (amonia, H2, H2S, dan CH4). Sebagian zat-zat ini dibuang bersama feses dan yang lainnya diabsorpsi dan ditransfor ke hati untuk diubah menjadi senyawa yang kurang toksik dan diekskresi melalui urin.


2.2. DIARE
Menurut WHO (1980), diare adalah buang air besar encer lebih dari 3 x sehari. Menurut Haroen N, S. Suraatmaja, dan P.O Asdil (1998), diare adalah defekasi encer lebih dari 3 kali sehari dengan atau tanpa darah atau lendir dalam tinja. Menurut C.L Betz, dan L.A Sowden (1996) diare merupakan suatu keadaan terjadinya inflamasi mukosa lambung atau usus. Menurut Suradi, dan Rita (2001), diare diartikan sebagai suatu keadaan dimana terjadinya kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi buang air besar satu kali atau lebih dengan bentuk encer atau cair.
 Enteritis adalah infeksi yang disebabkan virus maupun bakteri pada traktus intestinal (misalnya kholera, disentri amuba). Diare psikogenik adalah diare yang menyertai masa ketegangan saraf / stress.

2.2.1        Etiologi Diare
a.       Faktor infeksi : Bakteri, virus, parasit, kandida
b.      Faktor parenteral : infeksi di bagian tubuh alin (OMA sering terjadi pada anak-anak)
c.       Faktor malbabsorpsi : karbohidrat, lemak, protein
d.      Faktor makanan : makanan basi, beracun, terlampau banyak lemak, sayuran yang dimasak kurang matang, kebiasaan cuci tangan
e.       Faktor psikologis : rasa takut, cemas

2.2.2        Patofisiologi
Penyebab gastroenteritis akut adalah masuknya virus (Rotravirus, Adenovirus enteris, Virus Norwalk), Bakteri atau toksin (Compylobacter, Salmonella, Escherihia Coli, Yersinia dan lainnya), parasit (Biardia Lambia, Cryptosporidium). Beberapa mikroorganisme patogen ini menyebabkan infeksi pada sel-sel, memproduksi enterotoksin atau Cytotoksin dimana merusak sel-sel, atau melekat pada dinding usus pada gastroenteritis akut.
Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah adanya peningkatan bising usus dan sekresi isi usus sebagai upaya tubuh untuk mengeluarkan agen iritasi atau agen infeksi. Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus, sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian terjadi diare dan absorpsi air serta elektrolit terganggu. Sebagai homeostasis tubuh, sebagai akibat dari masuknya agen pengiritasi pada kolon, maka ada upaya untuk segera mengeluarkan agen tersebut. Sehingga kolon memproduksi mukus dan HCO3 yang berlebihan yang berefek pada gangguan mutilitas usus yang mengakibatkan hiperperistaltik dan hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan asam basa, gangguan gizi, dan gangguan sirkulasi darah.
                                      Agen infeksi pada usus besar
                                       Enterotoksin dan cytotoksin
                         Mengiritasi dan merusak dinding sel usus
                                    Bising usus ↑
  Sekresi mukus dan HCO3 ↑                         absorbsi air dan elektrolit ↓
                                        Pengeluaran isi usus ↑
                     Frekuensi BAB ↑                sekresi cairan dan elektrolit ↑
                           Diare                            gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit



2.2.3        Manifestasi klinis
a.       Bising usus meningkat, sakit perut atau mules
b.      Diare, vomitus, tanda dehidrasi (+)
c.       Asidosis, hipokalemia, hipotensi, oliguri, syok, koma
d.      Pemeriksaan mikro organisme (+) ( misalnya amoeba)
e.       Bisa ada darah dan mukus (lendir) dalam feses (misalnya pada disentri amuba)

2.2.4        Komplikasi pada diare
Menurut Bongard (2002), ada 5 komplikasi utama yang muncul pada kasus diare, yaitu:
a.       Dehidrasi
Dehidrasi Ringan; Kehilangan cairan 2 – 5 % dari berat badan dengan gambaran klinik turgor kulit kurang elastis, suara serak, klien belum jatuh pada keadaan syok.
Dehidrasi Sedang; Kehilangan cairan 5 – 8 % dari berat badan dengan gambaran klinik turgor kulit jelek, suara serak,  presyok nadi cepat dan dalam.
Dehidrasi Berat; Kehilangan cairan 8 – 10 % dari berat badan dengan gambaran klinik seperti tanda-tanda dehidrasi sedang ditambah dengan kesadaran menurun, apatis sampai koma, otot-otot kaku sampai sianosis.
b.      Renjatan hipovolemik
Ringan (kehilangan cairan < 20% volume darah); pasien mengeluhkan perasaan dingin, perubahan tekanan darah dan nadi,  kulit pucat, dingin, lembab, flat neck veins, urin pekat
Sedang (defisit 20-40 % dari volume darah); pasien mengaluh haus, tekanan darah turun pada posisi supine, oliguria.
Berat (defisit cairan >40 % volume darah); pasien tampak gelisah, lemah, bingung, obtune,tekanan darah rendah dan nadi tak teraba, takhipnea, jika progres berlanjut terjadi cardiac arrest.
c.       Kejang
d.      Bakteriemia
e.       Malnutrisi
f.       Intoleran sekunder akibat kerusakan mukosa usus (perforasi)

2.2.5        Penatalaksanaan
a.       Banyak minum
b.      Rehidrasi perinfus
c.       Antibiotika yang sesuai
d.      Diit tinggi protein dan rendah residu
e.       Obat anti kolinergik untuk menghilangkan kejang  abdomen
f.       Tintura opium dan paregorik  untuk mengatasi diare (atau obat lain)
g.      Transfusi bila terjadi perdarahan
h.      Pembedahan bila terjadi perforasi
i.        Observasi keseimbangan cairan
j.        Cegah komplikasi

2.2.6        Terapi cairan (intra vena)
a.       Pungsi vena (pemasangan infuse)
Pemilihan dan pengkajian vena yang hati-hati adalah penting untuk prosedur yang berhasil. Pemilihan tersebut adalah
-          Gunakan vena-vena distal terlebih dulu
-          Gunakan lengan pasien yang tidak dominan jika mungkin
-          Pilih vena-vena diatas area fleksi
-          Pilih vena yang cukup besar untuk memungkinkan aliran darah yang adekuat
-          Pastikan bahwa lokasi yang dipilih tidak akan mengganggu aktifitas pasien sehari-hari
-          Pilih lokasi yang tidak akan mempengaruhi pembedahan atau prosedur-prosedur yang direncanakan
Prosedur pemasangan kateter IV (infuse)
-          Persiapan alat ; kateter IV (ukuran disesuaikan), infuset, tiang infus, transparant dressing, sarung tangan, torniquet, kapas alkohol (povidon iodin), baki dan alas tindakan, bak steril, cairan infus yang dibutuhkan.
-          Cuci tangan
-          Pilih vena yang paling baik
-          Pasang alas tindakan
-          Pakai sarung tangan
-          Pasang torniquet
-          Fiksasi vena; letakan ibu jari anda diatas vena untuk mencegah pergerakan dan untuk meregangkan kulit melawan arah penusukan
-          Tusuk vena
-          Rendahkan jarum sampai hampir sejajar dengan kulit
-          Dorong kateter ke depan vena kira-kira ¼ sampai ½ inci sebelum melepas stylet; lepaskan regangan kulit, pegang stylet, dan dorong kateter
-          Lepaskan torniquet dan tarik stylet
-          Pasang ujung selang infus atau tutup injek intermiten
-          Pasang transparant dressing dan fiksasi dengan plester
-          Beri label pada tempat pemasangan
-          Bereskan alat
-          Cuci tangan
b.      Cairan Intravena (IV)
Cairan IV diklasifikasikan sebagai larutan isotonik, hipotonik, atau hipertonik yang tergantung pada efek cairan dan komponen cairan intra sel (CIS) dan cairan ekstra sel (CES).
1)      Larutan isotonik
Larutan isotonik digunakan untuk menambah volume CES. Larutan ini mengandung konsentrasi larutan yang sama dengan cairan tubuh dan menghasilkan tekanan osmotik yang sama dengan CES dalam keadaan normal atau stabil.
Larutan NaCl 0,9%, RL, dan dextrose 5% semua berfungsi sebagai larutan isotonik. Jika larutan isotonik diinfuskan kedalam sistem intravaskuler, volume cairan meningkat. Satu liter larutan isotonik menambah CES dengan satu liter, tiga liter cairan isotonik diperlikan untuk mengganti 1 liter darah yang hilang.
Berdasarkan konsentrasinya, larutan isotonik dibedakan menjadi larutan kristaloid (untuk dehidrasi) dan larutan koloid (untuk hipovolemia. Larutan koloid bisa bertahan didalam sistem vaskuler > 20 jam.
2)      Larutan hipotonik
Larutan hipotonik menghasilkan tekanan osmotikyang lebih randah daripada CES. Infus cairan hipotonik yang berlebihan dapat menyebabkan deplesi cairan intravaskuler, hipotensi, edema seluler dan kerusakan sel.
Karena larutan ini dapat menyebabkan komplikasi yang serius, pasien dan infus harus dipantau dengan teliti. NaCl 0,45% dan 0,3% memberikan air, natrium dan klorida bebas untuk membantu ginjal dalam mengekskresi solut.
Jangan memberikan aquabidest secara intravena kecuali bila digunakan sebagai pengencer obat karena akan memberikan efek sangat hipotonik pada sel darah dan dapat mengebabkan lisis sel darah merah.
3)      Larutan hipertonik
Larutan hipertonik menghasilkan tekanan osmotik yang lebih besar daripada CES, digunakan untuk menggeser CES ke dalam plasma darah dengan melakukan difusi cairan dari jaringan untuk menyamakan solut dalam plasma. Kelebihan cairan hipertonik yang cepat dapat menuebabkan kelebihan (overload) sirkulasi dan dehidrasi. Cairan IV hipertonik adalah Dextrose 5% dalam NaCl 0,9%, dekstrose 5% dalam RL, dextrose 10% dan yang lebih besar lagi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS