Diare seringkali dianggap penyakit yang biasa dan sering
dianggap sepele penanganannya. Pada kenyataanya diare dapat menyebabkan
gangguan sistem ataupun komplikasi yang sangat membahayakan bagi
penderita. Beberapa di antaranya adalah gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit, shock hipovolemia, gangguan berbagai organ tubuh, dan bila
tidak tertangani dengan baik dapat menyebabkan kematian. Dengan demikian
menjadi penting bagi perawat untuk mengetahui lebih lanjut tentang
diare, dampak negative yang ditibulkan, serta upaya penanganan dan
pencegahan komplikasinya.
Pada kasus pemenuhan
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, sebenarnya masih ada
diagnosa keperawatan yang mungkin muncul. Tetapi pada kasus ini
difokuskan pada kasus diare, sehingga tindakan keperawatan lebih banyak
diarahkan pada rehidrasi pasien, dan ternyata banyak sekali yang harus
dipertimbangkan dan diperhatikan.
1.2 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai pada penulisan makalah ini adalah
:
1. Meningkatkan pemahaman
tentang diare
2. Mengidentifikasi
masalah keperawatan yang berhubungan dengan adanya gangguan cairan dan
elektrolit pada klien diare
3. Mengidentifikasi
tindakan keperawatan untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit pada
klien diare.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Fisiologi Usus Besar
Kolon atau usus besar
terdiri dari kolon asenden, transversum, desenden dan sigmoid yang
bermuara di rektum dan anus. Arteri yang memperdarahi usus besar
meliputi eteri mesenterika superior (untuk kolon bagian kanan), arteri
mesenterika inferior (untuk kolon bagian kiri), serta arteri
hemoroidales. Sistem saraf yang mempengaruhi kerja usus besar adalah
sisten saraf otonom kecuali spingter eksterna oleh sistem saraf
volunter.
Fungsi usus besar yang paling penting adalah absorpsi air
dan elektrolit yang sebagian besar berlangsung di usus besar bagian
kanan, fungsi sigmoid sebagai reservoir untuk dehidrasi massa feses
sampai defekasi berlangsung. Sekresi kolon merupakan mukus dan HCO3, mukus bekerja
sebagai pelumas dan melindungi mukosa kolon sedangkan HCO3 berperan dalam
kestabilan jumlah bakteri dalam kolon dan menjaga tingkat keasaman dalam
kolon, pada peradangan usus, peningkatan sekresi mukus yang banyak
sekali mungkin bertanggung jawab akan kehilang protein dalam feses, juga
menyebabkan kehilangan HCO3 yang bertanggung jawab terhadap sebagian gangguan
keseimbangan asam basa.
Bakteri dalam kolon
melakukan banyak fungsi yaitu mensintesis vitamin K dan beberapa vitamin
B, serta melakukan pembusukan sisa makanan yang tidak bisa diabsorpsi
usus halus. Selama proses pembusukan dihasilkan berbagai peptida, indol,
skatol, fenol dan asam lemak serta beberapa gas (amonia, H2, H2S, dan CH4). Sebagian zat-zat
ini dibuang bersama feses dan yang lainnya diabsorpsi dan ditransfor ke
hati untuk diubah menjadi senyawa yang kurang toksik dan diekskresi
melalui urin.
2.2. DIARE
Menurut WHO (1980), diare adalah buang
air besar encer lebih dari 3 x sehari. Menurut Haroen N, S. Suraatmaja,
dan P.O Asdil (1998), diare adalah defekasi encer lebih dari 3 kali
sehari dengan atau tanpa darah atau lendir dalam tinja. Menurut C.L
Betz, dan L.A Sowden (1996) diare merupakan suatu keadaan terjadinya
inflamasi mukosa lambung atau usus. Menurut Suradi, dan Rita (2001),
diare diartikan sebagai suatu keadaan dimana terjadinya kehilangan
cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi
buang air besar satu kali atau lebih dengan bentuk encer atau cair.
Enteritis adalah
infeksi yang disebabkan virus maupun bakteri pada traktus intestinal
(misalnya kholera, disentri amuba). Diare psikogenik adalah diare yang
menyertai masa ketegangan saraf / stress.
2.2.1 Etiologi Diare
a. Faktor infeksi :
Bakteri, virus, parasit, kandida
b. Faktor parenteral :
infeksi di bagian tubuh alin (OMA sering terjadi pada anak-anak)
c. Faktor malbabsorpsi :
karbohidrat, lemak, protein
d. Faktor makanan :
makanan basi, beracun, terlampau banyak lemak, sayuran yang dimasak
kurang matang, kebiasaan cuci tangan
e. Faktor psikologis :
rasa takut, cemas
2.2.2 Patofisiologi
Penyebab
gastroenteritis akut adalah masuknya virus (Rotravirus, Adenovirus
enteris, Virus Norwalk), Bakteri atau toksin (Compylobacter,
Salmonella, Escherihia Coli, Yersinia dan lainnya), parasit (Biardia
Lambia, Cryptosporidium). Beberapa mikroorganisme patogen ini
menyebabkan infeksi pada sel-sel, memproduksi enterotoksin atau
Cytotoksin dimana merusak sel-sel, atau melekat pada dinding usus pada
gastroenteritis akut.
Mekanisme dasar
penyebab timbulnya diare adalah adanya peningkatan bising usus dan
sekresi isi usus sebagai upaya tubuh untuk mengeluarkan agen iritasi
atau agen infeksi. Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin
di dinding usus, sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian
terjadi diare dan absorpsi air serta elektrolit terganggu. Sebagai
homeostasis tubuh, sebagai akibat dari masuknya agen pengiritasi pada
kolon, maka ada upaya untuk segera mengeluarkan agen tersebut. Sehingga
kolon memproduksi mukus dan HCO3 yang berlebihan yang berefek pada
gangguan mutilitas usus yang mengakibatkan hiperperistaltik dan
hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah kehilangan air dan
elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan asam basa, gangguan
gizi, dan gangguan sirkulasi darah.
Diare gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit
2.2.3 Manifestasi klinis
a. Bising usus meningkat,
sakit perut atau mules
b. Diare, vomitus, tanda
dehidrasi (+)
c. Asidosis, hipokalemia,
hipotensi, oliguri, syok, koma
d. Pemeriksaan mikro
organisme (+) ( misalnya amoeba)
e. Bisa ada darah dan
mukus (lendir) dalam feses (misalnya pada disentri amuba)
2.2.4 Komplikasi pada diare
Menurut Bongard (2002), ada 5 komplikasi utama yang muncul
pada kasus diare, yaitu:
a. Dehidrasi
Dehidrasi Ringan; Kehilangan
cairan 2 – 5 % dari berat badan dengan gambaran klinik turgor kulit
kurang elastis, suara serak, klien belum jatuh pada keadaan syok.
Dehidrasi Sedang; Kehilangan
cairan 5 – 8 % dari berat badan dengan gambaran klinik turgor kulit
jelek, suara serak, presyok nadi cepat dan dalam.
Dehidrasi Berat; Kehilangan
cairan 8 – 10 % dari berat badan dengan gambaran klinik seperti
tanda-tanda dehidrasi sedang ditambah dengan kesadaran menurun, apatis
sampai koma, otot-otot kaku sampai sianosis.
b. Renjatan hipovolemik
Ringan (kehilangan cairan < 20%
volume darah); pasien mengeluhkan perasaan dingin, perubahan tekanan
darah dan nadi, kulit pucat, dingin, lembab, flat neck veins, urin
pekat
Sedang (defisit 20-40 %
dari volume darah); pasien mengaluh haus, tekanan darah turun pada
posisi supine, oliguria.
Berat (defisit cairan >40 % volume
darah); pasien tampak gelisah, lemah, bingung, obtune,tekanan darah
rendah dan nadi tak teraba, takhipnea, jika progres berlanjut terjadi
cardiac arrest.
c. Kejang
d. Bakteriemia
e. Malnutrisi
f. Intoleran sekunder
akibat kerusakan mukosa usus (perforasi)
2.2.5 Penatalaksanaan
a. Banyak minum
b. Rehidrasi perinfus
c. Antibiotika yang
sesuai
d. Diit tinggi protein
dan rendah residu
e. Obat anti kolinergik
untuk menghilangkan kejang abdomen
f. Tintura opium dan
paregorik untuk mengatasi diare (atau obat lain)
g. Transfusi bila terjadi
perdarahan
h. Pembedahan bila
terjadi perforasi
i. Observasi keseimbangan
cairan
j. Cegah komplikasi
2.2.6 Terapi cairan (intra
vena)
a. Pungsi vena
(pemasangan infuse)
Pemilihan dan pengkajian vena yang hati-hati adalah penting
untuk prosedur yang berhasil. Pemilihan tersebut adalah
- Gunakan vena-vena
distal terlebih dulu
- Gunakan lengan pasien
yang tidak dominan jika mungkin
- Pilih vena-vena diatas
area fleksi
- Pilih vena yang cukup
besar untuk memungkinkan aliran darah yang adekuat
- Pastikan bahwa lokasi
yang dipilih tidak akan mengganggu aktifitas pasien sehari-hari
- Pilih lokasi yang
tidak akan mempengaruhi pembedahan atau prosedur-prosedur yang
direncanakan
Prosedur pemasangan
kateter IV (infuse)
- Persiapan alat ;
kateter IV (ukuran disesuaikan), infuset, tiang infus, transparant
dressing, sarung tangan, torniquet, kapas alkohol (povidon iodin), baki
dan alas tindakan, bak steril, cairan infus yang dibutuhkan.
- Cuci tangan
- Pilih vena yang paling
baik
- Pasang alas tindakan
- Pakai sarung tangan
- Pasang torniquet
- Fiksasi vena; letakan
ibu jari anda diatas vena untuk mencegah pergerakan dan untuk
meregangkan kulit melawan arah penusukan
- Tusuk vena
- Rendahkan jarum sampai
hampir sejajar dengan kulit
- Dorong kateter ke
depan vena kira-kira ¼ sampai ½ inci sebelum melepas stylet; lepaskan
regangan kulit, pegang stylet, dan dorong kateter
- Lepaskan torniquet dan
tarik stylet
- Pasang ujung selang
infus atau tutup injek intermiten
- Pasang transparant
dressing dan fiksasi dengan plester
- Beri label pada tempat
pemasangan
- Bereskan alat
- Cuci tangan
b. Cairan Intravena (IV)
Cairan IV
diklasifikasikan sebagai larutan isotonik, hipotonik, atau hipertonik
yang tergantung pada efek cairan dan komponen cairan intra sel (CIS) dan
cairan ekstra sel (CES).
1) Larutan isotonik
Larutan isotonik digunakan untuk
menambah volume CES. Larutan ini mengandung konsentrasi larutan yang
sama dengan cairan tubuh dan menghasilkan tekanan osmotik yang sama
dengan CES dalam keadaan normal atau stabil.
Larutan NaCl 0,9%, RL, dan dextrose 5%
semua berfungsi sebagai larutan isotonik. Jika larutan isotonik
diinfuskan kedalam sistem intravaskuler, volume cairan meningkat. Satu
liter larutan isotonik menambah CES dengan satu liter, tiga liter cairan
isotonik diperlikan untuk mengganti 1 liter darah yang hilang.
Berdasarkan konsentrasinya, larutan
isotonik dibedakan menjadi larutan kristaloid (untuk dehidrasi) dan
larutan koloid (untuk hipovolemia. Larutan koloid bisa bertahan didalam
sistem vaskuler > 20 jam.
2) Larutan hipotonik
Larutan hipotonik menghasilkan tekanan
osmotikyang lebih randah daripada CES. Infus cairan hipotonik yang
berlebihan dapat menyebabkan deplesi cairan intravaskuler, hipotensi,
edema seluler dan kerusakan sel.
Karena larutan ini dapat menyebabkan
komplikasi yang serius, pasien dan infus harus dipantau dengan teliti.
NaCl 0,45% dan 0,3% memberikan air, natrium dan klorida bebas untuk
membantu ginjal dalam mengekskresi solut.
Jangan memberikan aquabidest secara
intravena kecuali bila digunakan sebagai pengencer obat karena akan
memberikan efek sangat hipotonik pada sel darah dan dapat mengebabkan
lisis sel darah merah.
3) Larutan hipertonik
Larutan hipertonik menghasilkan tekanan
osmotik yang lebih besar daripada CES, digunakan untuk menggeser CES ke
dalam plasma darah dengan melakukan difusi cairan dari jaringan untuk
menyamakan solut dalam plasma. Kelebihan cairan hipertonik yang cepat
dapat menuebabkan kelebihan (overload) sirkulasi dan dehidrasi. Cairan
IV hipertonik adalah Dextrose 5% dalam NaCl 0,9%, dekstrose 5% dalam RL,
dextrose 10% dan yang lebih besar lagi.
0 komentar:
Posting Komentar